BAHASA INDONESIA DAN KESADARAN NASIONALISME

bagikan

Oleh: NURWAHIDIN NL, SS (Pegiat Literasi TBM An Nur Palajau-Jeneponto)

Apabila seseorang yang berasal dari Makassar bertemu dengan seorang yang berasal dari Jawa, kemudian mereka berinteraksi menggunakan bahasa daerah masing-masing, tentu akan terlihat lucu. Satu-satunya pilihan bagi mereka adalah menggunakan bahasa isyarat yang sederhana.

Tentu saja kita akan membayangkan mereka menggunakan satu dua gerakan berulang hingga akhirnya mereka bisa paham satu sama lain.

Beruntung kita memiliki bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu bangsa sehingga kejadian tersebut tidak perlu terjadi.

Semangat menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan bangsa tertuang dalam salah satu butir Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, yaitu Menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Semangat ini mampu mengayomi 718 bahasa yang dimiliki Indonesia.

Bahasa Indonesia diharapkan hadir di seluruh pelosok Indonesia, terutama di ruang publik agar setiap orang bisa mendapatkan informasi secara efektif apabila sedang berkunjung ke tempat lain dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pada tahun 2016 lalu, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa melakukan Lokakarya Penyegaran Pemakaian Bahasa Indonesia di Media Luar Ruang di Denpasar, Bali.

Melalui kegiatan tersebut, Prof. Dr. Dadang Sunendar, selaku kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbudristek waktu itu, mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk mengutamakan pemakaian bahasa Indonesia di ruang publik.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan telah mengamanatkan pengutamaan penggunaan bahasa negara (bahasa Indonesia) di ruang publik.

Namun, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa merasa kesulitan dalam menertibkan pelaksanaan amanat dari Undang-Undang tersebut. Hal ini dikarenakan tidak adanya sanksi dalam aturan yang diamanatkan oleh Undang-Undang tersebut.

Pihak swasta bahkan pemerintah sendiri masih sering melanggar aturan yang diamanatkan Undang-Undang tersebut. Misalnya, Bus Trans-Maminasata, yang pengelolanya di bawah kendali Pemprov Sulawesi Selatan, masih menggunakan bahasa asing dalam petunjuk yang ditampilkan di dalam kendaraan.

Informasi EMERGENCY EXIT tentu saja dinilai tidak efektif, mengingat mayoritas pengguna bus tersebut adalah penduduk lokal.

Mengutamakan bahasa Indonesia di ruang publik bukan berarti menghilangkan sepenuhnya bahasa asing, akan tetapi ada aturan penggunaan bahasa asing secara visual apabila digunakan dalam ruang publik, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa asing dituliskan berdampingan (atas bawah/ kiri kanan) kemudian ukuran tulisan bahasa Indonesia lebih besar dibandingkan bahasa asing.

Tergerusnya penggunaan bahasa Indonesia di ruang publik, barangkali juga disebabkan oleh tergerusnya kesadaran nasionalisme dari masyarakat.

Lalu, pada siapa lagi bahasa negara akan bersandar jika bukan pada penutur?

Agar tidak tergerus lebih jauh oleh bahasa asing, mungkin perlu melibatkan pemprov hingga pemkab dalam menerbitkan kebijakan sanksi administrasi terhadap pemberian izin kepada dinas-dinas dan unit pelaksana teknis serta pelaku usaha dalam menggunakan bahasa pada media publikasi mereka untuk mengutamakan penggunaan bahasa Indonesia.

Selain itu, kolaborasi dengan komunitas-komunitas serta pegiat budaya dan literasi juga penting dalam melakukan pengawasan serta sosialisasi pengutamaan bahasa Indonesia di ruang publik.Dengan upaya tersebut, kita bisa optimis memperteguh jati diri bangsa dengan slogan trigatra bangun bahasa: Utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, kuasai bahasa asing.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *